Desentralisasi Pendidikan: Tantangan Menuju 2045

Desentralisasi Pendidikan: Tantangan Menuju 2045

”Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” menjadi tema Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025.
Sejumlah siswa SD menunjukkan pin bertuliskan Berani Jujur Hebat ketika mengikuti pendidikan antikorupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bagi anak PAUD, TK, dan SD dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional di Gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta. (DOK. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menyelenggarakan Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah untuk menyambut momentum tersebut pada 28-30 April 2025 di Jakarta. Forum konsolidasi nasional ini membahas arah kebijakan, strategi, dan sasaran pembangunan pendidikan serta memperkuat sinkronisasi pemerintah pusat dan daerah dengan mengacu pada RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029.

Rangkaian kunjungan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti seusai dilantik ke sejumlah organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan menandai semangat partisipasi semesta dan kolaborasi. Penerbitan Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025 tentang Redistribusi Guru ASN pada Satuan Pendidikan yang Diselenggarakan oleh Masyarakat merupakan terobosan regulasi sebagai wujud pengakuan negara terhadap eksistensi dan kontribusi masyarakat selama ini dalam memajukan pendidikan.

Menurut Sri-Edi Swasono, kebijakan ini memastikan setiap sekolah bisa mendapatkan kualitas guru yang setara di seluruh wilayah, termasuk di daerah terpencil dan sekolah swasta.

Partisipasi semesta juga melibatkan mobilisasi sumber daya pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi pendidikan. Tulisan ini hendak melihat efektivitas pelaksanaan pembagian urusan pendidikan antara pusat dan daerah tersebut dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Refleksi

Idealitas Generasi Emas 2045 menuntut inovasi dan percepatan kebijakan yang bersifat struktural dengan berkaca pada tantangan disparitas mutu pendidikan hari ini, terutama terobosan regulasi, bahkan deregulasi. Mengatasi kesenjangan kualitas dan ketimpangan sosial berarti kita sedang memutus salah satu akar struktural kemiskinan. Kemendikdasmen dituntut menemukan formulasi kebijakan-kebijakan yang tepat sekaligus harus memastikan implementasinya di daerah bisa mencapai tujuan.

Tajuk Rencana harian ini pernah mengingatkan, pembaruan tata kelola guru mensyaratkan komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan pendidikan, terutama menguatkan tanggung jawab pemerintah daerah (Kompas, 11/12/2024).

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan  daerah di sektor pendidikan mencakup manajemen pendidikan,  kurikulum, akreditasi, pendidik, dan tenaga kependidikan, perizinan  pendidikan serta bahasa dan sastra. Adanya pembagian urusan  tersebut merupakan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren.

Menurut Tilaar (2010), desentralisasi pendidikan merupakan keharusan karena akan berkontribusi pada peningkatan daya saing bangsa, pembangunan masyarakat demokratis, dan pengembangan modal sosial. Desentralisasi di sektor pendidikan diyakini akan berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu pendidikan dan kualitas pembelajaran.

Namun, refleksi atas dampak kebijakan desentralisasi sejak diberlakukan tahun 2001 menunjukkan keyakinan tersebut perlu ditinjau kembali. Di satu sisi, pengalaman di Kabupaten Jembrana pada periode waktu 2002-2004 memperlihatkan adanya pengaruh signifikan desentralisasi terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Kualitas pendidikan kepala sekolah dan guru mengalami peningkatan dan angka siswa putus sekolah menurun (Supriyadi, 2009). Studi Lastra-Anadon dan Mukherjee menemukan korelasi positif desentralisasi administrasi dan fiskal dengan kinerja pendidikan dan capaian PISA suatu negara (OECD Working Papers, Maret 2019).

Di sisi lain, kajian Direktorat Pendidikan TK dan SD pada masa awal otonomi daerah mengungkapkan fenomena sebaliknya. Desentralisasi pendidikan belum bisa membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Di tingkat tertentu justru menimbulkan kesulitan baru dibandingkan era sebelum desentralisasi pendidikan (Sambas dalam Toifur, 2011).

Bagi Kameshwara dkk, keyakinan desentralisasi pendidikan akan meningkatkan outcome pembelajaran murid merupakan resep yang tidak efektif (IJER, Vol 104, 2020). Suyanto pernah mengingatkan, desentralisasi pendidikan akan berbahaya jika tidak ada proses penanganan yang sinergis antara pusat dan daerah.

Pada kenyataannya, kualitas pembelajaran di daerah sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lokal (Arif dkk, Rise Working Paper, 2022). Instabilitas politik lokal telah berdampak pada tingkat transparansi dan akuntabilitas tata kelola guru, bahkan kerentanan jaminan pembiayaan pendidikan dari APBD.

Dengan begitu, rendahnya mutu pendidikan tidak semata disebabkan persoalan anggaran, defisit sumber daya manusia, dan manajemen, tetapi yang lebih fundamental adalah faktor politik dan kekuasaan (Rosser, Lowy Institute, 2018). Keyakinan bahwa desentralisasi pendidikan akan berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran di daerah tidak tergambarkan dalam potret pendidikan hari ini.

Stagnasi capaian PISA kita dalam 20 tahun terakhir menjadi catatan kritis yang mempertanyakan ulang korelasi desentralisasi pendidikan dengan kualitas pembelajaran. Evaluasi atas desentralisasi pendidikan memperlihatkan kompleksitas faktor yang menghambat peningkatan mutu pendidikan.

Di antaranya rendahnya kualitas guru, minimnya komitmen kepala sekolah dan guru, serta kurangnya partisipasi orangtua dan kelompok masyarakat (Rahman, 2019). Perbedaan bahkan keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam mengurus pendidikan sesuai kewenangannya terlihat dari Rapor Pendidikan 2024 yang masih menempatkan ketimpangan mutu sebagai persoalan utama.

Di tengah tantangan desentralisasi pendidikan tersebut, Kemendikdasmen terus melakukan inovasi kebijakan dan terobosan regulasi untuk menata ulang tata kelola guru dengan prinsip meningkatkan kesejahteraan guru berbasis kompetensi. Dukungan kementerian dan lembaga terkait telah melahirkan beberapa kebijakan yang bermuara pada perbaikan pelayanan pendidikan.

Redistribusi guru PPPK ke sekolah swasta, pembaruan sistem pelaporan kinerja guru menjadi lebih sederhana, dan terobosan transfer tunjangan guru ASN daerah langsung ke rekening guru menjadi bagian tak terpisahkan dari pembaruan tata kelola guru dan kesejahteraannya.

Kritik dan evaluasi

Beberapa pihak menilai rangkaian kebijakan Kemendikdasmen dalam enam bulan terakhir ini belum menyentuh akar masalah pendidikan. Mereka menganggap perubahan kebijakan sebatas pergantian istilah, seperti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), dan menimbulkan kebingungan, misalnya rencana penerapan pendekatan Pembelajaran Mendalam yang disalahpahami sebagian pihak sebagai kurikulum baru.

Pengalaman desentralisasi pendidikan sejauh ini perlu menjadi bahan evaluasi bersama menuju 2045 tanpa mencederai esensinya dalam koridor otonomi daerah, yaitu demokratisasi pendidikan, otonomi guru dan sekolah, serta manajemen pendidikan berbasis masyarakat.

Rencana revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menjadi kunci transformasi struktural untuk merumuskan kembali tata kelola guru dalam perspektif pembagian urusan pusat dan daerah yang bersifat konkuren.

Perbaikan sistem pengelolaan guru secara struktural yang terpusat bisa mengatasi disparitas mutu antarsatuan pendidikan dan antardaerah meskipun hal ini tidak bisa menyelesaikan tantangan kualitas pendidikan dalam waktu singkat.

Penulis: Fajar Riza Ul Haq Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah

(Berita ini telah ditayangkan Desentralisasi Pendidikan: Tantangan Menuju 2045)

Tim Media

Skip to content